Santet, tenung, atau guna-guna. Kata-kata ini sudah akrab di telinga masyarakat Indonesia sejak zaman nenek moyang. Dari kisah rakyat sampai perbincangan di warung kopi, isu santet selalu menarik perhatian.
Yang menarik, praktik ini tidak hanya terjadi di pedesaan. Di era modern, santet disebut-sebut juga muncul di lingkungan pemerintahan, lembaga swasta, bahkan kampus. Motifnya beragam mulai dari persaingan jabatan, iri hati, sampai keinginan mencari keuntungan pribadi atau kelompok.
Ada juga praktik seperti pelet, gendam, semar mesem, puter giling, penglarisan, hingga pesugihan, yang sering dikaitkan dengan urusan asmara, bisnis, atau kekuasaan. Tak jarang, dampaknya bisa menghancurkan rumah tangga atau karier seseorang.
Santet dalam Bahasa dan Agama
Menurut Kamus Besar Bahasa Indonesia (KBBI), santet berarti ilmu sihir yang digunakan untuk mencelakai orang lain.
Dalam ajaran Islam, praktik semacam ini dikenal dengan istilah sihir.
Allah SWT telah memperingatkan dalam QS. Al-Baqarah ayat 102, bahwa sihir merupakan perbuatan yang menjerumuskan pada kekufuran karena melibatkan jin untuk mencelakai sesama manusia.Artinya jelas: apa pun bentuknya seperti guna-guna, pelet, atau santet tidak dibenarkan dalam ajaran agama.
Santet Kini Bisa Dipidana
Kabar penting datang dari KUHP baru, Undang-Undang Nomor 1 Tahun 2023.
Untuk pertama kalinya dalam sejarah hukum Indonesia, praktik santet diatur secara eksplisit dalam hukum pidana.
Lihat saja Pasal 252 KUHP baru:
Ayat (1):
Barang siapa mengaku punya kekuatan gaib dan menawarkan jasa untuk mencelakai orang lain, bisa dipenjara maksimal 1 tahun atau didenda.
Ayat (2):
Jika perbuatan itu dilakukan untuk mencari keuntungan pribadi atau merugikan orang lain, hukumannya lebih berat penjara maksimal 3 tahun.
Namun, perlu digarisbawahi: yang dipidana bukan kekuatan gaibnya, tapi tindakan orang yang mengaku atau menawarkan jasa santet untuk menipu atau mencelakai.
Hukum tidak menilai “ada atau tidaknya sihir”, tapi menindak perbuatan jahat di baliknya.
Santet di Berbagai Daerah dan Dunia
Setiap daerah punya istilah sendiri.Di Jawa, disebut guna-guna atau santet. Di Bali, dikenal dengan leak. Di Kalimantan disebut teluh. Di Sulawesi, disebut sangiang.
Sementara di luar negeri:
- Afrika mengenal voodoo.
- Filipina menyebutnya barang.
- Eropa di masa lalu bahkan menggelar witch trials yang menewaskan banyak orang karena tuduhan sihir.
Fenomena serupa ternyata bersifat global hanya beda istilah dan cara pandang.
Antara Penyakit Medis dan “Penyakit Gaib”
Di berbagai daerah, masyarakat masih percaya pada penyakit nonmedis.
Banyak yang bercerita: sudah berobat ke rumah sakit, tapi tak kunjung sembuh. Setelah dibawa ke kyai, ustaz, atau “orang pintar”, justru sembuh.
Fenomena ini menunjukkan bahwa sebagian masyarakat masih meyakini adanya dimensi spiritual dalam kehidupan manusia.
Namun, penting diingat: ikhtiar spiritual tidak boleh berubah menjadi senjata untuk mencelakai.
Hukum Alam: Teori Tabur Tuai
Dalam kehidupan, ada hukum sederhana: apa yang ditanam, itu yang dituai.
Jika seseorang menabur kebencian, maka akan menuai penderitaan.
Sebaliknya, yang menebar kebaikan akan menuai kebahagiaan.
Rasulullah ﷺ pernah bersabda:
“Barang siapa menanam kebaikan, maka ia akan memetik kebahagiaan. Barang siapa menanam kejahatan, maka ia akan memetik penyesalan.”
(HR. Ahmad).
Sederhana, tapi dalam: kehidupan akan mengembalikan semua yang kita lakukan.
Solusi Dunia dan Akhirat
Daripada mencari jalan pintas lewat kekuatan gaib, siapkan diri untuk bersaing secara sehat dan terhormat.
Bangun kemampuan, karakter, dan integritas.
Dunia saat ini butuh manusia yang santun, kapabel, akseptabel, berintegritas, dan bersih.
Untuk kehidupan akhirat, perbanyaklah amal dan ibadah.
- Berbuatlah kebaikan.
- Suka menolong.
- Rajin beribadah dan bersedekah.
- Hormati orang tua, guru, dan para ulama.
Karena kekuatan sejati bukan pada sihir atau santet, tapi pada doa, ketulusan, dan keikhlasan hati.
Penutup
Fenomena santet adalah bagian dari realitas sosial yang masih hidup di tengah masyarakat kita.
Namun, melalui Pasal 252 KUHP baru, negara memberi sinyal tegas bahwa praktik yang menyesatkan dan merugikan orang lain tidak bisa dibiarkan.
Kini, tinggal bagaimana kita menyikapi.Bukan dengan takut pada santet, tapi dengan memperkuat iman, akal sehat, dan moral.
Karena pada akhirnya, keadilan Tuhan jauh lebih kuat dari kekuatan gaib mana pun.
✍️ Penulis:
Dr. Drs. Adv. H. Kukuh Sudarnanto A, BA, S.Sos, SH, MH, MM
(Kaprodi S2 Hukum Universitas Semarang
& Pengamat Alam Gaib)
