KAMPUSPEDIA.ID – Mata rantai diakronis bahasa jawa klasik di dalam tubuh pesantren tak bisa ditentukan secara pasti, ketika menyoal sejak kapan ia digunakan serta dianggap sebagai “bahasa ibu” dalam mengkaji kitab kuning.
Terlebih pesantren salaf yang; mengkaji kitab kuning; maknani (memberi makna pada kitab); dan dengan menggunakan aksara pegon (bahasa jawa yang ditulis dengan huruf arab tanpa diakritik) sebagai makna gandulnya. Bahasa jawa menjadi begitu dekat dengan lingkungan pesantren dan memang itu yang kita harapkan.
Betapa tidak, saat di mana-mana gejolak modernitas, seperti pengaruh budaya populer, yang lambat laun rupanya berdampak terhadap kemampuan orang jawa dalam menggunakan bahasa jawa dan kebanggaan untuk berbahasa jawa. Hampir-hampir kampanye “Manusia Kebudayaan” yang diudarakan oleh Irfan Afifi tenggelam begitu saja.
BACA JUGA : Filanekoreligi dan Spirit Rahmatan Lil ‘Alamin
Sungguhlah tak dapat kita pungkiri, seperti yang sudah kita pahami dalam psikologi perilaku, bahwa ‘apa yang terlihat’ merupakan kendali atas sistem kompleks dari yang ‘tak terlihat’.
Oleh sebab itu, jika kita ingin dilihat sebagai orang jawa yang sangat mencintai serta mengakui eksistensi budaya jawa, maka penting untuk memperlihatkannya kepada lingkungan sosial, tentu saja melalui bahasa, sebagai salah satu mediumnya.