KAMPUSPEDIA.ID – Kita tidak bisa menafikan peran-peran para ulama zaman dahulu dalam membangun Bangsa Indonesia. setelah Kemerdekaan Republik Indonesia diproklamirkan pada tahun 1945, namun justru ancaman pemberontakan dan disintegrasi bangsa muncul di mana-mana, antara lain pemberontakan yang dilakukan DI/TII dan PKI di Madiun pada tahun 1948.
Rais Syuriyah PBNU KH Masdar Farid Mas’udi mengungkapkan gagasan salah seorang Pendiri NU, KH Abdul Wahab Chasbullah (1888-1971) menggelar halal bihalal untuk seluruh tokoh bangsa atas permintaan Bung Karno.
Dari riwayat yang diceritakan Kiai Masdar itu, pada tahun 1948 yaitu dipertengahan bulan Ramadhan, Bung Karno memanggil KH Wahab Chasbullah ke Istana Negara untuk dimintai pendapat dan sarannya untuk mengatasi situasi politik Indonesia yang tidak sehat.
Kemudian Kiai Wahab memberi saran kepada Bung Karno untuk menyelenggarakan Silaturrahim, sebab sebentar lagi Hari Raya Idul Fitri, di mana seluruh umat Islam disunahkan bersilaturrahim. Lalu Bung Karno menjawab, “Silaturrahim kan biasa, saya ingin istilah yang lain”.
“Itu gampang,” kata Kiai Wahab. “Begini, para elit politik tidak mau bersatu, itu karena mereka saling menyalahkan. Saling menyalahkan itu kan dosa. Dosa itu haram. Supaya mereka tidak punya dosa (haram), maka harus dihalalkan. Mereka harus duduk dalam satu meja untuk saling memaafkan, saling menghalalkan. Sehingga silaturrahim nanti kita pakai istilah halal bihalal,” jelas Kiai Wahab.
Dari saran Kiai Wahab itulah, kemudian Bung Karno pada Hari Raya Idul Fitri saat itu, mengundang semua tokoh politik untuk datang ke Istana Negara untuk menghadiri silaturrahim yang diberi judul halal bihalal dan akhirnya mereka bisa duduk dalam satu meja, sebagai babak baru untuk menyusun kekuatan dan persatuan bangsa. Sejak saat itulah istilah halal bihalal gagasan Kiai Wahab lekat dengan tradisi bangsa Indonesia pasca-lebaran hingga kini.
Begitu mendalam perhatian seorang Kiai Wahab Chasbullah untuk menyatukan seluruh komponen bangsa yang saat itu sedang dalam konfik politik yang berpotensi memecah belah bangsa. Hingga secara filosofis pun, Kiai Wahab sampai memikirkan istilah yang tepat untuk menggantikan istilah silaturrahim yang menurut Bung Karno terdengar biasa sehingga kemungkinan akan ditanggapi biasa juga oleh para tokoh yang sedang berkonflik tersebut.