Bahasa Jawa, Pesantren, dan Psikologi Daun

(Foto: freepik.com/free-photo/holy-quran-hand-with-arabic-calligraphy-meaning-al-quran)

Bahasa arab sebagai bahasa yang mempunyai jenis dan karakter yang begitu kompleks serta bersifat hirarkis, maka sudah seyogyanya hanya akan mampu dialih-bahasakan atau diimbangi oleh padanan bahasa yang juga kompleks dan bersifat hirarkis pula. Dalam hal ini, bahasa jawa, adalah jawabannya.

Apalagi didukung dengan karakter bahasa jawa yang seolah menjadi afirmasi kultur di dalam pesantren yang menekankan kesopanan dan tata krama kepada orang tua, guru, serta masyayikh.

Nilai-nilai moral tersebut tidak akan kita dapatkan ketika menggunakan medium bahasa indonesia yang memiliki karakter egaliter. BACA JUGA : Berkomitmen Cegah Fraud, PT Pegadaian Raih Indonesia Excellence GCG Awards 2022

Psikologi perilaku membabak suatu hal yang menarik: saat stimulus tertentu dibiasakan di dalam suatu sistem, dalam hal ini adalah manusia, maka keteraturan sistem akan berubah seiring pembiasaan tersebut.

Artinya kemudian, ketika kita sebagai orang jawa dan dibiasakan berbahasa jawa yang mempunyai karakter moral, bukan tidak mungkin kita akan menjadi manusia yang juga bermoral.

Hal demikian mendapatkan legitimasi dengan apa yang dikatakan oleh Suwardi Endraswara, jer lair iku utusaning batin (yang tampak di luar itu sebab nyala dari dalam).

Kedisiplinan kita dalam memaknai pengalaman-pengalaman temporal, lantas menjadi makna hidup dan nilai moral, merupakan segala upaya kita untuk menjadi manusia bijaksana.

Termasuk bagaimana kita menjalin komunikasi yang baik, sopan, dan halus, seperti mana ketiganya adalah sifat-sifat yang telah menyublim di dalam bahasa jawa.

Pandangan psikologi Gestalt pun turut mendukung dengan pernyataan bahwa hidup manusia bukan seperti kotak makanan yang hanya berubah isinya, namun seperti balon yang akan terus mengembang, beserta isinya.

Seperti itu pula kita melihat bahasa jawa di dalam lingkungan masyarakat mega-heterogen; selain menjadi keteduhan dan meredam kebisingan modernitas, juga berfungsi sebagai pengembang moralitas kolektif secara intrinsik.