Bahasa Jawa, Pesantren, dan Psikologi Daun

(Foto: freepik.com/free-photo/holy-quran-hand-with-arabic-calligraphy-meaning-al-quran)

Saya jadi teringat tentang renungan singkat dari Gusti Paku Alam IX, “Hiduplah seperti daun.” Sungguhlah renungan barusan mengandung nilai filosofi yang begitu mendalam mengenai jiwa manusia jawa, seperti yang diutarakan Suwardi Endraswara dalam buku Ilmu Jiwa Jawa.

Ia mengatakan bahwa manusia jawa yang mempunyai gramatika bahasa yang teduh dan lembut sudah sepantasnya bersifat mengayomi dan mengayemi (menentramkan).

Maksudnya, budaya jawa yang begitu kaya akan nilai moral seharusnya lebih dari cukup untuk menjadi bekal cita-cita masyarakat madani; yang jauh dari pertikaian dan mampu menjadi sumber ketentraman.

Daun yang hijau dan rimbun menjadi tempat teduh, daun yang kering kemudian jatuh akan menjadi kompos bagi tanah. Tidak ada yang sia-sia dari seluruh hidup dan matinya dedaunan.

Padahal daun tak dapat merimbun dan gugur tanpa olah ‘keputusan’ dari akar, batang, dan ranting. Hal ini menunjukkan bahwa laku daun merupakan hasil refleksi dari setiap komponen pohon secara utuh.

Jiwa manusia jawa yang sudah mencapai ‘kesadaran’ bahwa ia hidup seperti daun, maka ia tak pernah menjalani hidup tanpa merefleksikan pengalaman-pengalamannya agar menjadi makna dan nilai moral dalam kehidupan.

Barang tentu ia juga tidak akan menjadi sumber petaka dan keriuhan dalam masyarakat luas, sebab moralitas budaya jawa yang dituturkan mulai dari bahasa, cara pandang, hingga konsep tata karma, telah melekat di dalam jiwa, lantas berpendar melalui tingkah laku dan keterampilan sosial.