PRO DAN KONTRA SANKSI PIDANA PENOLAK VAKSIN COVID-19
Dian Rosita, SH., MH.
Dosen Hukum Pidana Universitas Muhammadiyah Kudus
Pertengahan tahun 2021 tepatnya pasca Hari Raya Idul Fitri, pandemi covid-19 mengalami lonjakan kasus yang cukup signifikan. Bahkan 25 Kabupaten/Kota di Jawa Tengah telah dinyatakan ‘zona resiko tinggi.’ Berawal dari Kabupaten Kudus, yang setelah hari raya Idul Fitri 1442 H mengalami penambahan kasus harian positif Covid-19 hingga tiga kali lipat, dan dalam sepekan mencapai 1000 kasus. Lonjakan kasus tersebut meluas di beberapa daerah sekitar masing-masing hingga kini hampir merata seluruh Kabupaten/Kota di Jawa Tengah.
Bersamaan dengan hal itu, Pemerintah sedang menggalakkan program satu juta vaksinasi Covid-19 per hari. Vaksinasi menjadi salah satu upaya penting dalam mengurangi laju penyebaran virus sehingga mengurangi lonjakan kasus dan membawa kita keluar dari pandemi. Meskipun program vaksin sudah mulai berjalan, masih banyak menuai pro dan kontra dalam masyarakat terutama pemberian sanksi pidana bagi masyarakat yang menolak divaksin.
Aturan sanksi bagi penolak vaksin Covid-19 diatur dalam Peraturan Presiden Nomor 14 tahun 2021 tentang Perubahan atas Peraturan Presiden Nomor 99 Tahun 2020 tentang Pengadaan Vaksin dan Pelaksanaan Vaksinasi dalam Rangka Penanggulangan Pandemi Corona Virus Disease 2019. Pasal 13A Perpres Nomor 14/2021 menyebutkan bahwa setiap orang yang telah ditetapkan sebagai sasaran penerima vaksin Covid-19 yang tidak mengikuti vaksinasi Covid-19 dapat dikenakan sanksi administratif berupa penundaan atau penghentian pemberian jaminan sosial atau bantuan sosial, penundaan atau penghentian layanan administrasi pemerintahan dan/atau denda. Sanksi administratif tersebut akan dilakukan oleh kementerian, lembaga, pemerintah daerah, atau badan sesuai dengan kewenangannya.
Selain itu, Pasal 13B menyebutkan, setiap orang yang telah ditetapkan sebagai sasaran penerima vaksin Covid-19 yang tidak mengikuti vaksinasi dan menyebabkan terhalangnya pelaksanaan penanggulangan penyebaran Covid-19. selain mendapat sanksi di atas juga bisa dikenai sanksi sesuai ketentuan undang-undang tentang wabah penyakit menular.
Sanksi pidana bagi penolak vaksin Covid-19 diatur dalam pasal 93 Undang-Undang (UU) Nomor 6 Tahun 2018 tentang Kekarantinaan Kesehatan. Pasal 93 UU Kekarantinaan Kesehatan menyatakan setiap orang yang tidak mematuhi penyelenggaraan kekarantinaan kesehatan atau menghalangi penyelenggaraan kekarantinaan kesehatan bisa dipidana penjara paling lama satu tahun atau denda maksimal Rp100 juta.
Pasal 93 UU Nomor 6 Tahun 2018 ini merupakan pasal karet yang menuai pro maupun kontra ditengah masyarakat, dengan beragam argumentasi. Sanksi hukum pidana Penjara atau denda bahkan keduanya sekaligus yang disebutkan dalam pasal 93 itu harus diperjelas agar tidak menimbulkan permasalahan saat diterapkan. Bahkan ada juga pendapat yang mengatakan Tindakan yang bisa dipidana adalah perlawanan atas karantina wilayah, bukan menolak vaksin. Sementara Pemerintah sendiri menyatakan bahwa sanksi pidana bagi penolak vaksin Covid-19 merupakan ultimum remidium (upaya terakhir pemberian hukuman) jika norma hukum lainnya (yang lebih persuasif) tidak berfungsi.
Pro dan Kontra
Mereka yang Pro terhadap pemberian sanksi pidana dengan mengacu pada pasal 93 Undang-Undang Nomor 6 Tahun 2018 berpendapat bahwa Pemerintah bertanggung jawab dan wajib untuk melindungi kesehatan masyarakat, salah satunya dengan mewajibkan program vaksinasi Covid-19 yang sudah teruji untuk warganya yang memenuhi syarat. Hal tersebut sesuai dengan Pasal 28 H ayat (1) UUD NRI Tahun 1945 bahwa setiap orang berhak hidup sejahtera, lahir dan batin, bertempat tinggal, mendapatkan lingkungan hidup yang baik dan sehat, serta berhak memperoleh pelayanan kesehatan. Sehingga jika seseorang menolak di vaksin, maka orang tersebut berpotensi untuk melanggar hak asasi orang lain yang ingin hidup sehat. Oleh karenanya Negara bisa menerapkan sanksi pidana untuk melindunggi kepentingan rakyat.
Sedangkan mereka yang Kontra terhadap pemberian sanksi pidana mengacu pada Pasal 5 ayat 3 UU Nomor 3 Tahun 2009 tentang Kesehatan bahwa setiap orang berhak secara mandiri dan bertanggungjawab untuk mementukan sendiri pelayanan kesehatan yang diperlukan bagi dirinya. Bahkan dipertegas dalam pasal 56 ayat (1) UU yang sama, bahwa setiap orang berhak menerima atau menolak tindakan pertolongan setelah menerima informasi data kesehatan
Edukasi dan Komunikasi Pemerintah
Munculnya pro dan kontra di masyarakat, Pemerintah sebaiknya terlebih dahulu melakukan sosialisasi pemahaman terkait manfaat vaksinasi kepada masyarakat, sehingga masyarakat bisa dengan sukarela divaksin untuk meningkatkan kekebalan dan antibodi menolak virus penyakit covid 19. Penerapan sanksi justru semakin menguatkan keraguan masyarakat untuk diimunisasi vaksi. Akibatnya target herd immunity terhadap virus corona tidak dapat tercapai.
Kajian ilmiah dan sejarah pandemi di dunia menunjukkan bahwa efektivitas dengan cara pemaksaan tidak berjalan baik bahkan cenderung gagal. Adanya sanksi justru menguatkan teori konspirasi kelompok anti-vaksin bahwa diduga ada kepentingan perusahaan farmasi di balik pemaksaan vaksinasi massal tersebut.
Sejauh ini, menurut pengamatan Dewan Pakar Ikatan Ahli Kesehatan Masyarakat Indonesia, kalangan penolak vaksin di Indonesia tidak dikoordinir oleh kelompok tertentu. Mereka muncul karena kurangnya edukasi dan informasi mengenai tujuan, manfaat dan keamanan vaksin Covid-19, serta banyaknya hoaks informasi mengenai vaksin Covid-19 di media sosial. Hal ini menunjukkan bahwa edukasi dan komunikasi pemerintah belum membawa dampak yang signifikan.
Vaksinasi pada hakikatnya adalah ikhtiar manusia dalam rangka mencegah penularan pandemi Covid-19. Apakah jika seseorang yang sudah divaksin, berarti kebal? Faktanya banyak yang sudah divaksin tetapi masih terpapar virus Covid-19. Sejauh ini belum ada kepastian apakah penerima vaksin itu tidak menularkan virus kepada orang lain, karena tubuhnya terlindungi dan kebal. Vaksin disini sifatnya membantu mencegah agar tidak menjadi sakit parah jika seseorang tertular Covid-19. Sehingga pemerintah telah berupaya untuk menumbuhkan kesadaran masyarakat agar bersedia divaksinasi Covid-19 secara sukarela.