Pesantren, terutama pesantren salaf, telah menjelma menjadi rumah bagi bahasa jawa ketika kita mengingat tradisi pembacaan kitab kuning oleh seorang kiai kepada santri-santrinya.
Tradisi semiotik mengenai simbol dan tanda dalam memaknai kitab kuning secara turun temurun berlangsung dengan begitu konsisten.
Bahkan seorang santri rela meminta tolong santri lain, atau bahkan sowan ke kiainya langsung, hanya untuk mendikte kitab demi menambal makna gandul di dalam kitabnya yang ‘bolong’ (tidak ada makna gandulnya) sebab suatu hal tertentu.
Hal tersebut menunjukkan eksistensi nilai bahasa jawa dilestarikan dengan begitu baik di dalam tradisi pesantren. BACA JUGA : Kiai Anwar Ajak Mahasiswa USM Tingkatkan Rasa Syukur
Sebab itu pula kita perlu mengakui, rancangan atas rumus-rumus gramatika arab yang dikawin-silangkan dengan nilai-nilai bahasa jawa, seperti “Utawi” untuk menandai mubtada’ dan “iku” untuk menandai khobar, merupakan penemuan menakjubkan sepanjang sejarah bagi kalangan santri.
Begitupun masih banyak kosakata jawa yang kita akan kesulitan mencari padanannya di dalam bahasa indonesia, seperti ketungkul dan suwiji-wiji.